multazamwisata.co.id – Rasulullah pernah mengambil miqat umrah dari Ji’ranah. Apa itu Miqat?Miqat merupakan tempat atau waktu yang ditetapkan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai pintu masuk untuk memulai haji atau umrah. Setelah mengambil Miqat, jemaah menuju Baitullah dan mulai berlaku larangan saat berpakaian ihram.
Masjid Ji’ranah merupakan salah satu tempat miqat (tempat dimulainya umrah) yang ada di sekitar Kota Makkah. Sejumlah jamaah haji yang ingin melakukan umrah sunah pun mengambil miqat di tempat ini.tak begitu banyak jamaah haji yang mengambil miqat di sini. Termasuk, tak ada jamaah haji Indonesia yang mengambil miqat di sini.
Pemandangan ini berbeda dengan di beberapa masjid tempat miqat lainnya. Di antaranya, Masjid Aisyah di Tan’im dan Masjid Hudaibiyah di Hudaibiyah. Di sana, terlihat banyak jamaah haji Indonesia dan jamaah dari negara lain yang mengambil miqat di sini.
Di antara ketiga masjid tempat miqat tersebut, Masjid Ji’ranah secara besar dan luas ada di tengah antara Masjid Aisyah yang paling besar dan Masjid Hudaibiyah yang paling kecil.
Kebersihan dan kenyamanan di masjid ini sangat terasa. Fasilitas kamar mandinya besar, luas, dan bersih. Sementara, tempat parkir kendaraannya juga luas.Sama seperti masjid lainnya di Arab Saudi, di Masjid Ji’ranah juga dilengkapi pendingin udara. Sehingga, menambah kenyamanan saat melakukan shalat sunah ihram sebelum melakukan umrah.
Syekh Muhammad Ilyas Abdul Ghani dalam bukunya yang berjudul Sejarah Makkah menuliskan, kata Ji’ranah diambil dari nama seorang wanita yang hidup di daerah tersebut. Sebagaimana diriwayatkan oleh Al Fakihi dari Ibnu Abbas Ra bahwa surat Al-Nahl ayat 92 yang berbunyi Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali turun pada seorang wanita Quraisy dari Bani Tim yang dijuluki dengan julukan Ji’ranah. Wanita itu disinyalir sebagai seorang wanita yang terkenal dungu.
“Sekarang, Ji’ranah adalah sebuah perkampungan di Wadi Saraf, kurang lebih 24 kilometer dari Masjid Al Haram sebelah Timur Laut yang dihubungukan oleh jalan Ma’bad,” tulis Syekh Muhammad Ilyas Abdul Ghani.
Terkait Masjid Ji’ranah ini, adalah masjid yang digunakan untuk miqat dan berihram bagi penduduk Makkah. Masjid tersebut telah diperbaharui kembali oleh Raja Fahd yang pada saat itu menelan biaya kurang lebih 2 juta Riyal Saudi dengan luas 430 meter perseg dan dapat menampung 1.000 jamaah.
Di Ji’ranah juga, Rasulullah SAW pernah meninggalkan para tawanan dan harga rampasan perang yang diambilnya dari Hawazin, dalam peperangan Hunain pada 8 Hijriyah. Kira-kira selama 10 malam berada di Ji’ranah, Rasulullah tidak membagikan harga rampasan perang tersebut, karena sambil menunggu orang-orang Hawazin yang bertobat datang menyusulnya.
Dan, ketika telah dibagikan barulah datang beberapa orang utusan Hawazin memohon kepada Rasulullah SAW agar membebaskan para tawanan beserta hartanya. Rasulullah lalu bertanya kepada para utusan itu, “Silakan pilih, tawanan atau harta?”.
Mereka lalu memilih tawanan, dan Rasulullah pun meminta kepada kaum Muslimin semua untuk membebaskan para tawanan Hawazin dengan lembut dan secara baik-baik. Kemudian, pada malam itu juga, dari Ji’ranah, Rasulullah lalu berihram dan mengerjakan umrah, dan selesai pada malam itu juga. Lalu, Rasulullah menyuruh para tentaranya untuk kembali ke Madinah.
Dalam tulisannya, Syekh Muhammad Ilyas Abdul Ghani menjelaskan, penting diingatkan bahwa dalam pembagian harta rampasan tersebut, Rasulullah justru memberikannya kepada orang-orang yang baru masuk Islam dan tidak sedikitpun diberikan kepada kaum Anshar sehingga menimbulkan desas-desus dan pertanyaan di kalangan mereka.
Rasulullah menjelaskan duduk perkaranya, sembari bertanya kepada orang Anshar, “Apakah kalian tidak suka hai orang-orang Anshar jika ada orang pergi dengan domba dan untanya, lalu kembali bersama Rasulullah ikut dalam rombongan kalian?”
Mendengar apa yang diucapkan beliau itu, orang-orang Anshar kemudian menangis sehingga membasahi jenggot mereka. Dan, mereka serempak menjawab, “Kami rela atas apa yang telah diberikan dan ditetapkan Rasulullah.”